Monday, December 13, 2010

Tugas ISD permasalahan yang sedang update saat ini

Makalah Reaksi Masyarakat Yogya Atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
                                                                    



NAMA       :        Muhammad Novanto Janotama
NPM           :        54410774
KELAS      :        1IA09






UNIVERSITAS GUNADARMA
Jl. Margonda Raya No. 100, Pondok Cina, Depok Telp 78881112
Jl. Akses UI Kelapa Dua, Cimanggis Telp 8719525

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I  PENDAHULUAN
            I.1 Latar Belakang
I.2 Batasan Masalah
            I.3 Tujuan Pembahasan

BAB II PEMBAHASAN
II.1 Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
            II.2 Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
            II.3 Reaksi Masyarakat Yogya

BAB 3 PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA




KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan izin-Nya, makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dengan segala kekurangan dan juga kelebihannya. Makalah yang berjudul Reaksi Masyarakat Yogya Atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Penulis tak lupa berterima kasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Juga kepada ibu Rehulina Apriyanti, ST., MT yang telah menjadi pengajar, beribu terima kasih atas kesediaannya membagi ilmu kepada saya dan kawan-kawan.
Penulis menyadari masih begitu banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saya memohon maaf atas kekurangan tersebut. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca semua.


                                                                                                            Jakarta, 12 Desember 2010


                                                                                                            Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta dan seringkali disingkat DIY) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah.
Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula wilayah yang dulunya merupakan bagian Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.
Pemerintahan monarki Yogyakarta berlangsung terus hingga kini, demikian pula dengan gubernur yang memimpin daerah tersebut, yang bukan dipilih, namun berdasarkan garis keturunan Raja. Ketika pemerintah pusat merancang undang-undang yang menyatakan bahwa Yogyakarta harus mengikuti sistem pemerintahan seperti layaknya provinsi lain, masyarakat Yogkarta pun mengeluarkan reaksinya.
                                                                                                     

I.2 Batasan Masalah
            Masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah reaksi masyarakat Yogya atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

I.3 Tujuan Penulisan
            Untuk mengetahui reaksi masyarakat Yogya atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

 

 
BAB II
PEMBAHASAN


II.1 Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
            Pada awal pembentukannya, Daerah Istimewa Yogyakarta menganut sistem pemerintahan seperti yang dipraktekkan oleh Brunei, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur, Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur, yang menjalankan pemerintahan sehari-hari secara langsung, sekaligus sebagai kepala monarki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Dalam prakteknya, dikarenakan seringnya Sultan ditunjuk sebagai menteri oleh pemerintah pusat, pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 3) dan UU Nomor 19 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 48) yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58).
UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia. Substansi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah : Pertama, istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende landschaappen). Kedua, istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan DIY sebagai daerah setingkat provinsi yang terdiri dari penggabungan wilayah “state” Kasultanan Nagari Ngayogyakarta dengan Praja Kadipaten Pakualaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UU No. 3/1950. Ketiga, istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan DIY yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta sesuai Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945, Maklumat HB IX & Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 maupun tanggal 30 Oktober 1945.
Daerah Istimewa Yogyakarta juga menganut prinsip trias politika, yaitu distribusi kekuasaan antara legislatif - yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, eksekutif oleh Sultan, Paku Alam dan para kepala dinas, dan yudikatif oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan dasar hukum UUD 1945, UU 3/1950 dan -yang sekarang sedang dibahas oleh DPR RI- RUU Keistimewaan DIY, menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi 'istimewa', di mana demokrasi dapat berjalan beriringan dengan kekuatan kultural - terutama karena kharisma dwitunggal Sri Sultan - Sri Paduka Paku Alam yang masih sangat tinggi di masyarakat.

II.2 Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
Sejalan dengan perubahan undang-undang, ditambah dengan reformasi, maka terjadi masalah pada pengisian jabatan gubernur, karena sejak 1965, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan provinsi sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, sehingga mengikuti seluruh UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan oleh DPR sama seperti daerah yang lain. Pemilihan gubernur pun harus melewati proses pemilihan umum, bukan penetapan berdasar garis keturunan. Namun demikian, melihat sejarah Yogyakarta yang terbentang sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sangat sulit untuk mengubah status Istimewa tersebut. Sistem monarki kesultanan dan kraton telah menjadi identitas Yogyakarta dan merupakan bagian dari budaya yang telah mengakar ke tengah masyarakat.
Dari daerah istimewa yang ada memang hanya Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang belum disahkan padahal keistimewaan daerah ini sudah ada sejak negeri ini merdeka. Masalah ini berlarut-larut dan sulit ditemukan jalan keluarnya. Meskipun demikian, belakangan isu ini kembali hangat akibat adanya pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa monarki yang tidak boleh hidup di alam demokrasi Indonesia. Secara tidak langsung, ini dapat diartikan bahwa Presiden SBY tidak menyetujui sistem monarki Yogyakarta dan menghendaki agar Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta segera disahkan.

II.3 Reaksi Masyarakat Yogya
Pakar budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra mengatakan, polemik yang terjadi antara pemerintah pusat (presiden SBY) dengan Yogyakarta (Kraton) berawal dari adanya perbedaan interpretasi antara kedua belah pihak tentang istilah monarki dan bukan.
"Ada satu hal yang sebenarnya terlupakan dalam masyarakat Yogyakarta, bahwa kraton itu merupakan bagian dari identitas Yogyakarta bagian dari budaya milik masyarakat Yogyakarta. Karena itu saya sangat mengerti jika masyarakat Yogyakarta marah. Ini bukan masalah politik tapi ini masalah budaya itu yang penting," tuturnya.
Karena merupakan identitas dan budaya Yogyakarta maka penetapan kepala daerah di Yogyakarta sudah menjadi sebuah tradisi yang diyakini dan diikuti sejak zaman Penambahan Senopati. "Masa tradisi yang sudah terbangun sejak zaman dahulu tiba-tiba akan dicabut begitu saja. Ini akan menimbulkan reaksi keras," tegasnya.
Karena itu, pihaknya mengimbau pemerintah pusat agar memahami penetapan kepala daerah dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dari dua sisi yaitu sisi sejarah dan sisi Kraton Yogyakarta sebagai sebuah identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat setempat.
"Ini menyangkut budaya, jika ini diganggu orang bisa berani mati untuk membelanya. Coba saja lihat saat Tari Pendet atau Reog Ponorogo di klaim Malayusia, bagaimana reaksi masyarakat kita," tambahnya. Karena itulah, masalah Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ini menjadi sebuah masalah yang serius sehingga pemerintah pusat juga harus menyikapinya secara arif. Pasalnya sebagai sebuah simbol atau identitas Kraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta kata Heddy ibarat bendera merah putih atau Garuda Pancasila dengan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Jika itu diganggu maka akibatnya orang bisa marah. Dan kemarahan itu bentuknya macem-macem dari demonstrasi, memberontak atau mbalelo (tidak peduli)," jelasnya. Hal tersebut kata dia bisa saja terjadi pada masyarakat Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri tidak mau berkomentar terkait polemik tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta tersebut. Namun beliau siap dipanggil presiden SBY untuk membicarakan hal itu, tetapi saat ini pihaknya tidak akan memberikan komentar apapun termasuk reaksi masyarakat Yogyakarta terhadap sikap pemerintah pusat atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. "Itu tanyakan masyarakat, silahkan saja masyarakat mau apa," tegasnya.
Sementara masyarakat bereaksi melalui demo dan unjuk rasa. Ribuan warga Daerah Istimewa Yogyakarta, membuktikan keseriusan menentang keputusan pemerintah pusat yang mengusik keistimewaan Yogyakarta dengan berunjuk rasa. Bahkan untuk menunjukkan pada dunia luar, massa yang terdiri dari ribuan warga Yogyakarta berdemo sambil dikawal prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sesampainya di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, massa menyerukan anggota Dewan seharusnya tidak diam saat keistimewaan Yogyakarta diusik oleh pemerintah pusat. Tak ketinggalan para seniman Yogyakarta juga dibuat geram. Mereka meminta adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, GBPH Prabukusumo yang juga Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Demokrat DIY, tegas dengan pemerintah pusat.
Menanggapi tuntutan tersebut, dengan emosi dan air mata menetes, GBPH Prabukusumo berjanji menjaga kedaulatan keistimewaan Yogyakarta.
Massa yang tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bantul juga turun ke jalan. Mereka meminta pemerintah pusat tidak mengusik keistimewaaan Yogyakarta. Protes serupa diungkapkan banyak warga Kulonprogo. Sambil mengendarai sepeda motor dan berkeliling, mereka berharap pemerintah pusat tidak mengusik keistimewaan Yogyakarta. Sebab, bagi mereka, keistimewaan Yogyakarta adalah harga mati.


BAB III
PENUTUP

            Yogyakarta telah menjadi Daerah Istimewa sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah yang terbentang mengakibatkan status istimewa ini sulit untuk diubah. Meskipun demikian, pemerintah pusat menyuarakan isu demokrasi yang harus dijunjung tinggi oleh semua provinsi, termasuk Yogyakarta. Demokrasi ini mencakup cara pemilihan gubernur yang harusnya melalui Pemilihan Umum, dan bukan melalui penetapan garis keturunan. Meskipun demikian, sultan sebagai kepala pemerintahan atau gubernur telah menjadi identitas atau simbol budaya daerah Yogyakarta yang telah mengakar dalam lapisan masyarakat Yogya, sehingga ketika masalah Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta diangkat kembali, masyarakat Yogya bereaksi keras. Mereka berdemo dan berunjukrasa demi membela status keistimewaan Yogyakarta.

 
DAFTAR PUSTAKA




  1. http://berita.liputan6.com/sosbud/201012/310454/Keistimewaan.Diusik.Ribuan.Warga.Yogya.Berdemo
  2.  http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta
  3.  http://politik.kompasiana.com/2010/12/02/sby-membangun-image-melalui-isu-keistimewaan-yogya-masyarakat-yogya-masih-kecewa/
  4. http://www.radartasikmalaya.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8068:rakyat-jogja-marah-kesultanan-pasrah&catid=32:languages&Itemid=47
  5. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/12/01/149966-kraton-yogyakarta-ibarat-bendera-merah-putih



Data diunduh tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00

 
 

No comments:

Post a Comment